Berbagai keragaman yang terdapat di pulau Bali terdapat
di berbagai bidang seni khususnya pada seni tari, tarian di Bali ada yang
disebut tari wali, tarian yang disakralkan dan hanya di pentaskan pada saat
upacara keagamaan atau piodalan di Pura. Banyak juga tarian-tarian sakral ini
yang sudah di kenal masyarakat Bali seperti tari Baris, Rejang Dewa, Topeng
Sidakarya, Pendet, Rejang dan lainya yang tidak bisa lepas dari upacara
keagamaan di Bali. Lain halnya tari Topeng Brutuk yang ada dan dilestarikan
oleh masyarakat Trunyan. Tari brutuk ini sering di pentaskan apabila ada
upacara Ngusaba Desa yang jatuh pada purnamaning kapat tahun genap.
Topeng Brutuk ini ditarikan mengelilingi sebuah bangunan
besar di halaman Pura dengan membawa pecut (cambuk) yang di cambukan kepada
para penonton yang hadir, disinilah hal-hal yang kurang baik akan terlihat,
misalnya ada penonton yang cuntaka tetapi tetap memasuki areal pura akan
terkena pecut, jadi hanya orang-orang seperti ini yang terkena cambukan para
penari Topeng Brutuk. Cambuk atau cemeti yang di masyarakat bali disebut pecut
penari Topeng Brutuk itu berasal dari “Bagun Waru” dan gagangnya memakai lidi
atau batang daun kelapa yang diuntai. Topeng ini menggunakan pakaian yang
sederhana, karena hanya menggunakan daun pisang kering (kraras), Namun
daun pisang ini adalah daun pisang pilihan, diantaranya; daun pisang dangsaba,
pisang ketip, dan daun pisang temaga. Cara memakainya dengan melilitkan atau
mengikatkan daun pisang itu pada tubuh penarinya, sepintas mirip seperti Barong
Kedingkling. Oleh karena itu sebagain orang sering mengatakan Topeng Berutuk
adalah Barong Kedingkling. Keyakinan masyarakat suksesnya dan diterimanya
persembahan tarian Topeng Brutuk ini ditandai dengan turunnya hujan
setiap selesai upacara.
Tarian Topeng Brutuk ini merupakan simbol penghormatan
terhadap Nenek Moyang yang dianggap sebagai sarana penciptaan kedamaian dan
ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Untuk memuja nenek moyong tersebut
masyarakat Trunyan mewujudkannya dalam bentuk simbul berupa topeng. Berdasarkan
pandangan antropologis itulah sebabnya dalam penyelenggaraan karya Ngusaba Desa
atau pemujaan terhadap nenek moyang selalu di pentaskan tarian topeng, yaitu
tarian Topeng Brutuk.
Topeng Brutuk di Trunyan memiliki karakter laki-laki dan
perempuan. Karakter laki-laki disimbolkan sebagai Batara Sakti Pancering Jagat
yang ditarikan oleh pera remaja putra, sedangkan karakter perempuan disimbolkan
sebagai Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar ditarikan oleh remaja putri dimana kedua
simbol itu merupakan sungsungan masyarakat trunyan. Maka dari itu sebelum
pertunjukan atau pementasan Topeng Brutuk diadakan upacara penyucian penari Topeng
Brutuk dengan penyekeban (penyekaman) selama 11 hari. Penari Topeng ini pada
umumnya di pentaskan oleh para remaja. Anehnya dipercaya jika salah satu pemuda
yang melanggar penyucian ini terutama pada saat penyekaman, jika salah satu
pemuda itu keluar maka dipercaya akan tidak mendapatkan jodoh. Selain itu
terjadi juga ada keanehan yang terjadi sebelum dipentaskannya Topeng Brutuk ini
secara kasat mata (hanya orang tertentu mampu melihatnya) jumlah topeng yang
diambil oleh penari bisa bertambah, misalnya pada awalnya hanya berjumlah 21
topeng jika diambil bersamaan jika diambil satu persatu topeng itu bisa
berjumlah 30 topeng sesuai dengan jumlah penari yang disipakan. Itulah keanehan
atau secara niskala yang terjadi pada Topeng Brutuk.